PERSAMAAN
HIKAYAT DENGAN CERITA RAKYAT
Fungsi dan tujuan
umumnya sama, yaitu sebagai
pelipur lara hati si pembaca
1.
Keduanya merupakan salah satu karya sastra
2.
Sama-sama menceritakan tentang kejadian masa
lalu/lampau
PERBEDAAN HIKAYAT DENGAN
CERITA RAKYAT
1.
Hikayat cenderung terikat oleh bahasa melayu,
sedangkan cerita rakyat lebih luwes.
2.
Isi hikayat biasanya bercerita tentang kehebatan
dan kesaktian para raja, pangeran dll, sedangkan cerita rakyat umunya memiliki
cerita tentang kehidupan masyarakat setempat.
3.
Hikyat umumnya menggunakan kata pembuka “ Alkisah
“ , sedangkan cerita rakyat menggunkan kata pembuka “ Pada Zaman Dahulu Kala “.
4.
Hikaya biasanya menggunakan kata penghubung maka,
syahibul hikayat, shahdan, pada itu dll, sedangkan cerita rakyat menggunakan
kata penghubung kemudian, selanjutnya, begitupula dll.
Contoh hikayat:
SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada
seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada
kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu
mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat,
ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang
menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”
“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”
“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.”
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
Contoh cerita rakyat:
La Maddukkelleng (lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 – wafat: Wajo, Sulawesi
Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di
lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak
oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone.
Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut
dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak
menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam
pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk
merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak,
dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke
Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak
Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang
puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus
melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir
sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng
yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat
yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng
akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge
(Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam
pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang
cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari
penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah
kekuasaan Kerajaan Wajo
Petta
Pamaradekangi Wajona To Wajoe
Inilah
La Maddukelleng :
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La
Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung
Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La
Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang
Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga
(pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La
Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng)
ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya
dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang
perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).
Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam
putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu
tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan
tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan.
Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang
mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo.
Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut,
terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La
Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan
tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera
melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka
datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo
mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di
Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng
masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya
ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga
kerajaan itu harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung
Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar
meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan
gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta
gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri
Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama
perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia
menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya
lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng
berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia
sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam
perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar
kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah
merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa
akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap
sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714
La Maddukkelleng di Perantauan dan
Asal Usul Kota Samarinda
La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan
pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia
Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat
tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La
Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada
laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini
juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah
seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama
Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula
disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat,
Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng,
mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan
raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang
turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang
turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka
yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.
Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan
orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng
Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La
Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah
diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung
kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat
pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya
migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan
perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian
pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai
sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La
Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing
Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah
Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan
membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal
serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju
dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.
La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang
tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh
pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah
“carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan
rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak
langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara
dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam
mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama
berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah
yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah
rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya
sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara
rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah
bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di
sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau
“rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut
dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi “SAMARINDA”. Tempat itu
lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung
Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai
Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis.
Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng
itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung
tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir
sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng
yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat
yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah
siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan
Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun
menghadapi banyak pertempuran.
Perjuangan dari Pasir kembali ke
Wajo
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan
persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini
sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan
tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang
Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu
pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan
pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang
Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan
sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan
perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis,
Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui
Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi
Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La
Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan
12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang
terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini
berlangsung selama dua hari.
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La
Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan
Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam.
Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur
Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda
yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir
seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya.
Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek
Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu
kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang
menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan
rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La
Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung
Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak
tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La
Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap
Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng
menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja
perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah
Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng),
Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak
memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan
perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To
Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana
hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang
mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei
1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga
diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang.
Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan
antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri
persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap
tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis
sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu
membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang
Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari
Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung
yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari
terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng
dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang
memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung
Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan,
maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat
sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa
tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan
strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi
Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga
keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
Didahului oleh:
Sultan Aji Muhammad Alamsyah |
Raja
Pasir6—1736
|
Digantikan oleh:
Sultan Sepuh I Alamsyah |
bukankah cerita rakayat itu hidup di masa lalu dengan kekhasan yang sama dengan hìkayat. Bahkan salah satu sumber yang saya baca justru hikayat menjadi bagian dari cerita rakyat.
AntwoordVee uitkalau pun begitu apa kita dapat membedakan hikayat melayu dengan hikayat jawa, sumatra dst...?